PENGERTIAN IDEOLOGI
Secara historis, pengertian ideologi
mengalami perubahan dari masa ke masa. Untuk itu, di sini diuraikan pengertian
awal ideologi dan perubahan-perubahan makna yang terjadi berikutnya.
Ideologi atau ideologie (dalam
bahasa Perancis) pertama kali dikumandangkan oleh Antoine Destutt de Tracy
(1754-1836), de Tracy yang hidup pada masa Revolusi Perancis melihat bahwa
ketika revolusi berlangsung, banyak ide atau pemikiran telah menginspirasi ribuan
orang untuk menguji kekuatan ide-ide tersebut dalam kancah pertarungan politik
dan mereka mau mengorbankan hidup demi ide-ide yang diyakini tersebut. Latar
belakang inilah yang mendorong de Tracy untuk mengkaji ideologi.
Ideologi, secara etimologis berasal
dari kata idea (ide, gagasan) dan ology (logos, ilmu). Dalam rumusan de Tracy,
ideologi diharapkan menjadi cabang ilmu pengetahuan yang bertujuan mengkaji
serta menemukan hukum-hukum yang melandasi pembentukan serta perkembangan
ide-ide dalam masyarakat, sehingga nantinya, ide-ide tersebut dapat dijelaskan
secara rasional, bebas dari prasangka ataupun takhayul-takhayul. Dengan
demikian, ideologi dalam pengertian de Tracy merupakan kritik terhadap ide-ide
ataupun keyakinan-keyakinan yang bercorak dogmatik dan tidak rasional. Upaya
kritis de Tracy ini tak lepas dari tujuannya untuk mencerahkan dan menunjukan
ide-ide yang keliru di masyarakat, karena masyarakat Perancis saat itu masih
dilingkupi oleh dogma-dogma agama dan otoritas politik yang absolut (Eagleton,
1993: 64).
Upaya de Tracy mengalami kegagalan
karena dalam realitas, ideologi tidak lagi menjadi keyakinan ilmiah tentang
ide-ide melainkan sebaliknya, ide-ide itu menjadi idealisme revolusioner.
Akibatnya, kajian tentang ide-ide yang seharusnya menjadi kajian rasional telah
menjadi ajaran-ajaran ideologis. Sebagai contoh, ideologi republikanisme dan
liberalisme dipertentangkan dengan ideologi otoritarianisme yang dianut
Napoleon. Bahkan Napoleon yang semula mendukung lembaga bentukan de Tracy, kini
berbalik menyerang dengan menyebut pengertian ideologi sebagai hal yang
doktriner – pengertian yang sampai kini melekat pada ideologi. Pada masa de
Tracy telah terlihat bahwa pengertian ideologi telah merosot dari ilmu tentang
ide-ide menjadi ide-ide doktriner dan melekat dengan kekuasan.
Selanjutnya, perubahan pengertian
ideologi dari suatu ilmu tentang ide menjadi term yang bercorak politis lahir
seiring dengan tampilnya tulisan Karl Marx dan Friedrich Engels dalam The
German Ideology (1846). Dalam buku tersebut, Marx – yang menyorot masyarakat
kapitalis – mengemukakan bahwa ideologi lahir dari sistem masyarakat yang
terbagi dalam kelas-kelas. Di mana, kelas penguasa yang menguasai sarana-sarana
produksi (material), juga akan mengontrol produk-produk mental seperti ide-ide
dan keyakinan-keyakinan. Kelas penguasa pula yang mengatur produksi dan
distribusi ideologi, hingga akhirnya, ide-ide atau ideologi kelas penguasalah
yang menguasai jamannya (Ball dan Dagger (ed), 1995: 6).
Pandangan Marx tentang ideologi
tersebut merupakan implikasi dari pandangannya tentang masyarakat. Marx membagi
kehidupan masyarakat ke dalam dua bidang, yaitu bidang basis dan bangunan atas.
Basis merupakan bidang produksi kehidupan material yang terdiri dari
tenaga-tenaga produksi dan hubungan-hubungan produksi. Kedua unsur tersebut
akan membentuk struktur organisasi sosial produksi yang nantinya menciptakan
hubungan-hubungan produksi yang selalu berupa hubungan-hubungan kelas, seperti
hubungan antara kelas pemilik modal dengan kelas pekerja. Pada akhirnya,
hubungan antar kelas tersebut melahirkan pertentangan kelas, yaitu antara kelas
atas (pemilik modal) dengan kelas bawah (pekerja).
Sedangkan bangunan atas atau
suprastruktur terdiri dari a) segala macam lembaga yang mengatur kehidupan
bersama namun di luar bidang produksi material, seperti : sistem pendidikan,
sistem hukum, sistem kesehatan dan negara serta b) semua sistem keyakinan,
norma, nilai, makna, termasuk di dalamnya adalah pandangan dunia, agama,
filsafat, nilai-nilai budaya dan seni (Magnis-Suseno, 2001: 143-145).
Adapun hubungan antara kedua bidang
tersebut adalah sebagai berikut : bagian basis, yang terdiri dari
hubungan-hubungan produksi selalu berupa struktur-struktur kekuasaan, tepatnya
adalah struktur kekuasan ekonomi. Kekuasaan ekonomi yang dipegang oleh pemilik
modal menentukan bagunan atas, seperti kekuasaan politik dan ideologi. Dari
analisis ini jelaslah bahwa ideologi ditentukan oleh kekuatan ekonomi yang
berada di bagian basis. Oleh sebab itu, ideologi bukanlah sekumpulan ide-ide
yang berpijak pada realitas empiris (atau berangkat dari kenyataan) melainkan
merupakan rekayasa mental karena ia diciptakan oleh kekuatan-kekuatan yang
membentuknya di bagian basis, kekuatan tersebut memerlukan ideologi untuk
mempertahankan posisi dan kekuatannya, dengan demikian ideologi bersifat
fungsional.
Analisis Marx tentang ideologi
akhirnya sampai pada satu kesimpulan bahwa ideologi – dalam masyarakat
kapitalis yang terpolarisasi antara kelas kapitalis (pemilik modal) dan kelas
pekerja – tidaklah berbicara tentang keberadaan atau kenyataan empiris tapi
berbicara tentang kemanfaatan, kepentingan dan pamrih. Ideologi merupakan
ilusi, pandangan yang menyesatkan tentang dunia, dan kepalsuan (Engels
menyebutnya sebagai kesadaran palsu). Disebut sebagai ilusi dan kepalsuan
karena ideologi merefleksikan kepentingan kelas penguasa dan kelas ini sendiri
tidak pernah mengakui diri sebagai kelas penindas. Berkat ideologi, maka kaum
kapitalis dapat menyembunyikan kontradiksi dalam masyarakat hingga kaum
proletar (pekerja) yang tereksploitasi tidak menyadarinya, bahkan mendukung
sistem kekuasaan yang ada, sebagai contoh adalah adanya ide-ide tentang hak
milik dalam liberalisme. Ide ini diusung sebagai ide universal namun dalam kenyataannya
hanya dinikmati oleh segelintir orang (Heywood, 1998: 7).
Yang menarik dari pandangan Marx
adalah bahwa ia tak pernah menyebut ide-ide pemikirannya sebagai ideologi
melainkan sebagai sosialisme ilmiah, baru para pengikutnya (kelompok Marxis) menyebut
pemikiran-pemikiran Marx sebagai ideologi.
Para pengikut Marx seperti Lenin dan
Antonio Gramsci menunjukan minat yang lebih besar lagi dalam kajian tentang
ideologi dan hasil kajian mereka tentunya berpengaruh pula terhadap
perkembangan pengertian ideologi.
Dalam pandangan Lenin – seorang
pemimpin Revolusi Sosialis Rusia – ideologi merupakan ide-ide yang berasal dari
kelas sosial tertentu yang berfungsi untuk mendukung kepentingan-kepentingan
kelas tersebut. Dengan kerangka berfikir ini maka baik kaum borjuis maupun
proletar memiliki ideologi masing-masing. Dalam buku yang ditulis pada tahun
1902, What is to be done?, Lenin menunjukan bahwa ideologi sosialis merupakan
teori revolusioner yang digunakan untuk mendukung aksi revolusioner. Sebagai suatu
teori, ideologi sosialis merupakan hasil pemikiran teoritis yang merefleksikan
kepentingan kelas yang sesungguhnya. Di sini terlihat Lenin mencampuradukan
antara pengertian ideologi sebagai ilmu pengetahuan dengan ide-ide yang
melayani kepentingan kelas, dan akibatnya, Lenin telah mereduksi pengertian
ideologi ke dalam arti peyoratif atau negatif (pengertian peyoratif sendiri
telah dirintis oleh Marx).
Setelah Lenin, seorang Marxis lain
yang juga mengembangkan pengertian ideologi adalah Antonio Gramsci. Titik tolak
kajiannya adalah adanya hegemoni kaum borjuis dalam masyarakat kapitalis. Dalam
pemikirannya, sistem kapitalis dapat berdiri kukuh karena ditopang oleh
ketidaksetaraan kekuatan ekonomi dan politik, serta oleh hegemoni ide-ide dan
teori-teori borjuis. Yang dimaksud dengan hegemoni di sini adalah suatu
dominasi, sedang hegemoni ideologis mengacu pada kapasitas ide-ide borjuis
untuk menggeser ide atau pemikiran lawan hingga akhirnya ide-ide borjuis
diterima oleh akal sehat pada jamannya – Dikatakan dapat diterima oleh akal
sehat karena ideologi tersebut menyebar serta hidup di tiap lapisan masyarakat
seperti dalam karya-karya sastra, sistem pendidikan dan media massa, selain itu
ideologi borjuis juga digunakan dalam bahasa sehari-hari serta disebarkan
melalui budaya-budaya populer.
Hegemoni borjuis, menurut Gramsci
hanya dapat ditentang di tingkat intelektual dan politik melalui penciptaan
hegemoni proletariat yang berbasis pada teori, nilai dan prinsip-prinsip
sosialis.
Marx maupun kaum Marxis memiliki
pengaruh besar dalam mengembangkan pengertian ideologi. Namun demikian, di luar
kelompok ini, Karl Mannheim (1893-1947) – seorang sosiolog Jerman –
mengkonstruksi konsep ideologi yang berbeda dari tradisi Marxis. Ia menolak
pendapat Marxis yang menekankan ideologi dari sisi peyoratif atau negatif,
walau disisi lain ia sepakat dengan pendapat Marx yang mengatakan bahwa ide-ide
ditentukan oleh lingkungan sosial yang membentuknya.
Dalam buku Ideology and Utopia
(1924), Mannheim mendefinisikan ideologi sebagai sistem pemikiran yang menjadi
dasar tatanan sosial. Di samping itu, ideologi juga mengekspresikan
kepentingan-kepentingan kelompok penguasa atau kelompok yang dominan di
masyarakat.
Selanjutnya, Mannheim memilah
ideologi menjadi dua jenis yakni ideologi partikular dan ideologi total.
Ideologi partikular merupakan ide-ide individu atau kelompok tertentu,
sedangkan ideologi total mengacu pada weltanschauung atau world view (pandangan
hidup) yang diyakini oleh suatu kelas sosial, masyarakat luas dan bahkan
berlaku pada suatu periode jaman tertentu. Mannheim mengklasifikasikan
kapitalisme liberal dan Marxisme ke dalam tipe total ini.
Menginjak tahun 1960-an hingga kini,
kajian tentang ideologi bergeser ke arah analisis ideologi dari perspektif
sosial dan politik dan hasilnya adalah pengertian-pengertian ideologi yang
netral dan obyektif, sebagai contoh adalah definisi Martin Seliger yang
menyebutkan bahwa ideologi merupakan seperangkat ide-ide, di mana (melalui
ide-ide tersebut) seseorang mampu menjelaskan dan menjustifikasi tujuan serta
tindakan sosial yang terorganisir, atau dengan kata lain, ideologi merupakan
sistem pemikiran yang berorientasi pada tindakan (Heywood, 1998: 8-11).
Dari uraian pengertian ideologi di
atas terlihat bahwa arti ideologi berkembang dari masa ke masa. Pada awalnya,
ideologi diartikan sebagai ilmu tentang ide (Destutt de Tracy) kemudian
berkembang ke arah pengertian yang bercorak peyoratif dan negatif (Marx dan
Marxis), di mana ideologi dipahami sebagai bentuk ilusi, kekuasaan, kesadaran
palsu dan hegemoni. Berikutnya, seorang non-Marxis, Karl Mannheim menyumbangkan
pemikirannya dengan mengemukaan pengertian baru yakni ideologi sebagai
pandangan hidup, weltanschauung atau world view. Terakhir, sejak tahun 1960-an,
minat terhadap kajian ideologi lebih difokuskan pada analisis sosial-politik
sehingga melahirkan definisi-definisi yang netral, antara lain pengertian bahwa
ideologi merupakan seperangkat ide yang berorientasi pada tindakan.
Ideologi dalam arti yang netral
tentu saja memiliki kelemahan karena tidak menjelaskan ideologi dari sudut baik
atau buruk, benar atau salah, menindas atau membebaskan, terbuka atau tertutup.
Ideologi dalam arti yang netral juga sulit dikritisi, karena ke”netral”annya,
ideologi dapat diartikan bermacam-macam seperti sebagai pandangan hidup,
doktrin (ajaran) atau sebagai filsafat politik.
Terlepas dari kelemahan-kelemahan
yang terdapat dalam kajian ideologi yang dibangun sejak tahun 1960-an, harus
diakui bahwa kajian ini mampu menghasilkan pengertian-pengertian ideologi yang
bercorak deskriptif, di mana ideologi dipandang sebagai obyek studi dan riset
sehingga nantinya ideologi dapat dipahami sebagai salah satu bentuk pemikiran politik.
Menurut Hardiman (dalam Eatwell dan Wright (ed), 2001: ix), bila ideologi
dipahami secara peyoratif semata maka yang tampil adalah suatu sikap antipati,
alergi atau meremehkan ideologi.
Setelah mengemukakan berbagai
pengertian ideologi, kini sampailah pada posisi yang harus diambil dalam buku
ajar ini. Penulis buku ajar mengadopsi definisi ideologi yang dikembangkan
sejak tahun 1960-an, yaitu dari Andrew Heywood (1998). Definisi Heywood
digunakan sebagai kerangka kerja untuk memahami pengertian ideologi dan untuk
menjelaskan peran ideologi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Adapun
dasar pertimbangan pemilihan ini adalah karena pengertian ideologi yang
dirumuskan Heywood banyak membantu menjelaskan gejala ideologi yang kompleks.
Heywood (1998: 12) mendefinisikan
ideologi sebagai seperangkat ide yang menjadi basis tindakan politik yang
terorganisir. Dari pengertian singkat ini, Heywood lantas mengembangkan tiga
ciri ideologi yakni a) sebagai world view (pandangan hidup) masyarakat, b)
sebagai model, visi, cita-cita tentang tatanan masyarakat yang baik di masa
depan dan c) sebagai pedoman bagi perubahan-perubahan politik yang seharusnya
dilakukan.
Dari rumusan definisi serta
ciri-ciri ideologi, Heywood kemudian mengkasifikasikan gejala ideologi ke dalam
dua bentuk. Pada bentuk pertama, ideologi dapat dilihat sebagai bentuk
pemikiran deskriptif dan normatif, di mana keduanya menghasilkan sintesis
antara pemahaman dan komitmen.
Sebagai sintesis (gabungan) antara
pemahaman dan komitmen, ideologi di satu sisi berisi pengetahuan deskriptif,
yaitu berupa peta intelektual tentang masyarakat dan pandangan umum terhadap
realitas. Melalui peta atau pandangan tersebut, seseorang atau kelompok
masyarakat mampu menempatkan diri dalam suatu lingkungan sosial. Di sinilah
letak kapasitas ideologi sebagai pemersatu atau pengintegrasi individu-individu
atau kelompok-kelompok.
Di sisi lain, ketika individu atau
kelompok telah memiliki pemahaman deskriptif yang sama, mereka akan memiliki
keyakinan normatif atau preskriptif pula yaitu berupa suatu komitmen tentang
tatanan masyarakat di masa kini maupun mendatang. Dengan adanya corak normatif,
maka ideologi menjadi sistem keyakinan yang memiliki kekuatan dan mendorong
sikap emosional karena dapat menjadi alat untuk menyuarakan harapan, ketakutan,
simpati dan kebencian.
Sintesis antara pemahaman dan
komitmen pada dasarnya meleburkan gejala ideologi sebagai fakta dan nilai, atau
antara ciri (a) ideologi sebagai pandangan hidup dan (b) ideologi sebagai
cita-cita tentang tatanan masyarakat yang baik. Adanya peleburan ini
menyebabkan batas antara ideologi dengan ilmu pengetahuan menjadi kabur,
akibatnya, ideologi dapat digunakan sebagai paradigma, yaitu sebagai
seperangkat prinsip, doktrin, dan teori yang dapat mendorong proses penelitian
intelektual.
Pada bentuk kedua, ideologi dapat
dilihat sebagai teori politik dan tindakan politik. Keduanya akan menghasilkan
sistesis antara pemikiran dan tindakan seperti tercermin pada ciri (b),
ideologi sebagai cita-cita tentang tatanan masyarakat yang baik dan (c)
ideologi sebagai pedoman perubahan politik yang diinginkan. Seliger (dalam
Heywood, 1998: 13) mengkaji secara lebih mendalam tentang hal ini dengan
memilah ideologi ke dalam dua tingkat. Tingkat pertama adalah tingkat fundamental,
pada tingkat ini, ideologi mirip dengan filsafat politik karena di dalamnya
berbicara tentang teori-teori dan ide-ide abstrak. Sedang pada tingkat kedua
adalah tingkat operatif, pada tingkat ini, ideologi berbentuk gerakan-gerakan
politik seperti mobilisasi massa dan perjuangan untuk merebut kekuasaan. Dalam
bentuk operatif, ideologi dapat dikenali dengan mudah dalam slogan-slogan,
retorika politik, manifesto partai ataupun dalam kebijakan-kebijakan
pemerintah.
Langkah-Langkah
berpandangan Hidup yang Baik
Setiap manusia pasti memliki sebuah pandangan hidup, dan sebagian mereka memiliki cara pandang yang berbeda-beda dalam menanggapi suatu hal. Bagaimana setiap orang memperlakukan pandangan hidup itu tergantung pada setiap individu yang bersangkutan. Ada yang memperlakukan pandangan hidup itu sebagai sarana mencapai tujuan dan ada pula yang memperlakukaan sebagai penimbul kesejahteraan, ketentraman dan sebagainya. Pandangan hidup sebagai sarana mencapai tujuan dan cita-cita dengan baik. Adapun langkah-langkah itu sebagai berikut :
Mengenal.
Sebelum seseorang meyakini sesuatu pastilah ia harus mengenal apa yang ia lihat tersebut. Mengenal merupakan langkah awal dari berpandangan hidup yang baik di karenakan dengan mengenal, kita pun akan dapat membedakan suatu hal yang baik dan buruk menurut cara pandang kita sehingga kita tidak akan mengambil langkah yang salah.
Mengerti
Tidak cukup hanya dengan mengenal, kita harus mengerti tentang apa yang sedang kita hadapi. Mengerti sebagai langkah lanjut dari mengenal. Mengenal di ibaratkan hanya sebagai lapisan luar sedangkan jika kita ingin mengetahui lapisan dalamnya, kita harus mengerti.
Menghayati
Setelah kita mengenal dan mengerti suatu hal tersebut, maka langkah selanjutnya adalah menghayati. Dengan menghayati kita dapat lebih jauh mengerti
Meyakini
Langkah selanjutnya adalah meyakini. Meyakini dapat kita lakukan dengan memperdalam rasa mengenal, mengerti, serta menghayati. Dengan meyakini kita dapat dengan kuat berpegang teguh pada cara pandang yang kita yakini.
Mengabdi
Langkah terakhir untuk berpandangan hidup yang baik adalah dengan megabdi. Mengabdi merupakan suatu usaha untuk menyerahkan segenap keyakinan kita untuk suatu hal yang kita yakini. Dengan mengabdi menjadikan kita lebih dekat atau bahkan menjadi satu dengan hal yang kita yakini tersebut.
Setiap manusia pasti memliki sebuah pandangan hidup, dan sebagian mereka memiliki cara pandang yang berbeda-beda dalam menanggapi suatu hal. Bagaimana setiap orang memperlakukan pandangan hidup itu tergantung pada setiap individu yang bersangkutan. Ada yang memperlakukan pandangan hidup itu sebagai sarana mencapai tujuan dan ada pula yang memperlakukaan sebagai penimbul kesejahteraan, ketentraman dan sebagainya. Pandangan hidup sebagai sarana mencapai tujuan dan cita-cita dengan baik. Adapun langkah-langkah itu sebagai berikut :
Mengenal.
Sebelum seseorang meyakini sesuatu pastilah ia harus mengenal apa yang ia lihat tersebut. Mengenal merupakan langkah awal dari berpandangan hidup yang baik di karenakan dengan mengenal, kita pun akan dapat membedakan suatu hal yang baik dan buruk menurut cara pandang kita sehingga kita tidak akan mengambil langkah yang salah.
Mengerti
Tidak cukup hanya dengan mengenal, kita harus mengerti tentang apa yang sedang kita hadapi. Mengerti sebagai langkah lanjut dari mengenal. Mengenal di ibaratkan hanya sebagai lapisan luar sedangkan jika kita ingin mengetahui lapisan dalamnya, kita harus mengerti.
Menghayati
Setelah kita mengenal dan mengerti suatu hal tersebut, maka langkah selanjutnya adalah menghayati. Dengan menghayati kita dapat lebih jauh mengerti
Meyakini
Langkah selanjutnya adalah meyakini. Meyakini dapat kita lakukan dengan memperdalam rasa mengenal, mengerti, serta menghayati. Dengan meyakini kita dapat dengan kuat berpegang teguh pada cara pandang yang kita yakini.
Mengabdi
Langkah terakhir untuk berpandangan hidup yang baik adalah dengan megabdi. Mengabdi merupakan suatu usaha untuk menyerahkan segenap keyakinan kita untuk suatu hal yang kita yakini. Dengan mengabdi menjadikan kita lebih dekat atau bahkan menjadi satu dengan hal yang kita yakini tersebut.
Contoh: pancasila sebagai pandangan bangsa
globallivebook.blogspot.com
Casinos Near NYC - JTM Hub
BalasHapusGet directions, 남원 출장마사지 reviews and information for Casinos Near NYC in New 의정부 출장마사지 Jersey. 목포 출장샵 Where to find Casinos Near NYC - JTM 대구광역 출장안마 Harrah's Hotel and 강릉 출장마사지 Casino Atlantic City, NJ.